PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA YANG MENJADI SAKSI MAHKOTA DALAM PENGADILAN PIDANA (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 83/Pid/2020/PT MDN)

Authors

  • Martua Pangabean Universitas Pamulang
  • Nike Dhiana Paulina Panjaitan Universitas Pamulang

Abstract

ABSTRAK

Penerapan saksi mahkota oleh penegak hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dalam peradilan pidana menurut Kitab Hukum Pidana Indonesia dan untuk mengetahui dan menganalisa perlindungan hukum  bagi terdakwa  yang menjadi saksi mahkota dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 83/Pid/2020/PT MDN. Saksi mahkota di definisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari seorang tersangka yang berasal dari terdakwa lainya yang bersama sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal ini saksi mahkota di berikan mahkota. Yang berarti saksi mahkota diberikan keringanan tuntutan jaksa penuntut umum, remisi, dan grasi. Sehingga konseptualiasi penerapan saksi mahkota oleh majelis hakim pada setiap tingkat pemeriksaan dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 83/Pid/2020/PT MDN, eksistensi jenis saksi mahkota tampak apabila terdakwa yang sama-sama sebagai pelaku tindak pidana tersebut kemudian perkaranya dipisahkan menjadi berkas perkara tersendiri (splitsling perkara) dalam hal ini keduanya satu sama lain saling menjadi saksi. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 83/Pid/2020/PT MDN secara substansial majelis hakim membedakan dua macam gradasi saksi mahkota, yakni: (a) Saksi mahkota adalah petugas yang dengan sengaja menjalankan perintah atasannya untuk melakukan tindak pidana, (b) Saksi mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak pidana. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 83/Pid/2020/PT MDN permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap penggunaan saksi mahkota yaitu bahwa penggunaan saksi mahkota menyulitkan atau mempengaruhi/kurang fairnya putusan Hakim. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya saksi  mahkota   adalah  berstatus  sebagai  seorang terdakwa. Karena sebagai terdakwa ia mempunyai hak untuk diam atau bahkan hak untuk memberikan jawaban yang bersifat ingkar atau bohong. Hal ini sebagai konsekuensi yang melekat akibat tidak diwajibkannya terdakwa untuk bersumpah dalam memberikan keterangan. Pasal 66 KUHAP juga mengatur bahwa terdakwa tidak dibebani pembuktian. Permasalahan selanjutnya ialah bahwa keterangan  saksi  mahkota bisa juga berisi kebohongan yang tujuannya untuk menyelamatkan tindakan terdakwa lain. Dalam hal ini, terdakwa tidak  dikenakan  kewajiban  untuk mengucapkan sumpah maka terdakwa bebas untuk memberikan keterangannya di persidangan. Sehingga menurut penulis dalam hal ini pemerintah perlu melakukan pembentuk undang-undang diharapkan apabila memang saksi mahkota ini merupakan alat yang penting untuk mengungkap sebuah perbuatan hukum maka hendaknya membuat perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang keberadaan Saksi Mahkota.

References

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adami Cahzawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T. Alumni Bandung, 2006.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.

Bosar Z. Siregar, UU No. 8, Tahun 1981, Tentang Hukum Acara Pidana, Braja Pustaka Depok, 2015.

Kanter & Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Parmita, Jakarta, 1990.

Soenarto R, Kitab Undang-Undang Hukum Piadana (KUHP) dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2019.

Sudaryono dan Natangsa Surbakti, 2005, Hukum Pidana, Surakarta, MUP.

Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana, Total Media, Jakarta, 2010.

Tolib Effendi, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Stara Press, Malang, 2014.

Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2003.

Jurnal

Amrulloh, 2014, “Paradigma Saksi Mahkota Dalam Persidangan Pidana di Indonesiaâ€, dalam

http://oaji.net/articles/2014/745-1402168122.pdf, diunduh Rabu, 18 Februari 2015, Pukul 17.00,

Vol, II.

Downloads

Published

2022-09-18