BATAS USIA MINIMUM UNTUK MELAKUKAN PERKAWINAN PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN HAK ASASI MANUSIA
Keywords:
Perlindungan Anak, Masyarakat, Undang-UndangAbstract
Pengaturan perkawinan merupakan bagian dari cita-cita hukum yang dimaksudkan untuk meciptakan kondisi kehidupan yang damai, tentram, dan berkeadilan. Cita-cita luhur hukum itu juga merupakan manifestasi dari salah satu unsur fitrah manusia, yaitu adanya hubungan tarik menarik yang bersifat alami dan oleh karena itu memerlukan pengaturan. Pengingkaran terhadap tarik menarik yang dimiliki manusia itu, sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah diciptakan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta. Pengaturan tentang Perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya mengatur tentang batas usia seseorang dapat melakukan perkawinan yaitu telah mencapai umur 19 (sembilas belas) tahun bagi pria dan telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita.2 Batas usia untuk melakukan perkawinan tersebut telah menuai berbagai silang pendapat. 3 perbedaan pengaturan batas usia antara laki-laki dan perempuan, Padahal seperti yang ditulis Fazlur Rahman4 Al- Quran memproklamasikan bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal.5 Silang pendapat terkait batas usia perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada akhirnya melahirkan perubahan pada peraturan tersebut dengan disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai perubahan batas usia seseorang dapat melakukan perkawinan, yaitu perkawinan hanya dapat diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap umur maka orang tua pihak pria dan/ atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. Persoalan mengenai adanya pengaturan dispensasi nikah yang masih memberikan ruang untuk seseorang dibawah 19 tahun untuk melakukan perkawinan, sehingga dimungkinkan seseorang yang berusia anak dapat melakukan perkawinan dengan melalui pengajuan dispensasi nikah yang diajukan oleh orang tuanya.
References
Santy Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 6
Marsana Windu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, Kanisius, Bandung, 1971. Hlm. 62
Mufidah, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan, Pilar Media, (Anggota IKAPI), Papringan, 2006, hlm. 2
Mieke Diah Anjar Yanti, et.al., Model Sistem Monitoring dan Pelaporan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan, Bapernas, Propinsi Jateng, 2006
Haidar Nashir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. II Juni 1999, hlm. 66
Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan, Yogyakarta, 1998, LKS Yogyakarta, hlm. 142
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
R. Soebekti, R. Tjitosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pramadya Paramita, Jakarta, 1999, hlm. 90
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Bandung, 1990, hlm. 20
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm. 19-20 100 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 32
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005, hlm. 24.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,2008, hlm. 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.