PENGATURAN JUSTICE COLLABORATOR TERKAIT PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DAN REMISI BAGI TERPIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN SERTA SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PERLAKUAN BAGI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR
Abstract
Kekeliruan sistem pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012 mengenai syarat Remisi dan bebas Bersyarat bagi Justice Collaborator serta proses pelaksanaan peradilan Tindak Pidana Korupsi dengan mengadopsi Surat Keputusan Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Whistleblower dan Justice Collaborator. Telah ditemukan dalam hasil bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 mengenai syarat Remisi dan bebas Bersyarat bagi Justice Collaborator bertentangan dengan Hierarki tentang pembentukan peraturan serta Surat edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2011 tentang pengaturan Justice Collaborator yang saat ini tidak dapat meringankan para pelaku atau Saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum serta belum memberikan perlindungan hukum baginya. Secara empirik penetapan sebagai Justice Collaborator dari instansi terkait tidak berjalan efektif. Proses syarat administrasi pelaksanaan hak Remisi dan Pembebasan Bersyarat seharusnya bisa secara otomatis langsung diberikan atas kewenangan LAPAS, namun adanya syarat Justice Collaborator maka prosesnya menjadi panjang dan membutuhkan waktu yang lama disebabkan adanya pertimbangan dari instansi terkait. Kewenangan LAPAS sebagai subsistem pelaksanaan vonis Hakim bagian akhir dalam sistem tata peradilan pidana (intergreated criminal justice system) menjadi mundur kebelakang, Oleh karena pengetatan Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2002 tersebut maka Remisi sebagai hak Narapidana akhirnya menjadi tidak terpenuhi serta penulis menilai bahwa dalam penetapan Status Justice Collaborator ada kekeliruan dalam kebijakannya karena seharusnya Status Justice Collaborator ini ada dalam posisi pra-adjudikasi dan adjudikasi bukan pada post-adjudikasi yang berarti seharusnya status itu diberikan pada saat proses peradilan bukan setelah di adili atau telah mendapatkan kekuatan hukum tetap, kemudian penulis menilai adnya ambatan yang timbul dalam Penerapan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah mengenai Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. SEMA tersebut merupakan Surat yang diedarkan bukan merupakan peraturan perundang-undangan yang mengikat sehingga dapat di laksanakan atau tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.
Kata Kunci ; Remisi, Bebas Bersyarat, dan Justice Collaborator.
References
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta : Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997).
Monang Siahaan, Korupsi Penyakit Sosisal yang Mematikan, (Jakarta :PT Elex Media Komputindo kelompok Gramedia, 2013).
Iqbal, Muhamad. "Implementasi Efektifitas Asas Oportunitas di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan Umum." Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan 9.1 (2018): 87-100.
Zainal Abidin, A. Gimmy Prathama Siswandi, Psikologi Korupsi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015).
Ermansjah Djaja, Mendesign Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 26.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),(Jakarta: Rajawali Pers, 2001).
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghal.ia Indonesia, 2001).
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan,(Jakarta : Pusat Pelayanan keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1997).
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi ( Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000).
Soedjono Dirdjosisworo, Masalah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, dalam Pustaka Peradilan Jilid IX, (Jakarta: Penerbit Mahkmah Agung RI, 1995).
Lilik Muliyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya), Bandung: Alumni, 2007.
Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:Penaku, 2012).
Kompas, “Nazaudin Bebas dengan Status Justice Collaboration dari KPKâ€, di akses pada situs https://nasional. kompas.com/read/2020/06/17/13241191 /nazaruddin-bebas-dengan-status-justice-collaborator-dari-kpk